Senin, 02 November 2009

KRITIK AL-ATTAS TERHADAP PANDANGAN ALAM (WORLDVIEW) BARAT

KRITIK AL-ATTAS TERHADAP PANDANGAN ALAM (WORLDVIEW) BARAT
Dr. Khalif Muammar A. Harris[1]

Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah seorang intelektual Muslim yang ulung pada abad ini karena telah berhasil membongkar kepincangan filsafat Barat dan menanggapinya secara kritis dan cerdas. Melalui karya-karyanya tentang metafisika Islam, beliau juga telah berhasil membawa pemikiran Islam ke tahap yang lebih tinggi. Salah satu sumbangan besar beliau dapat dilihat melalui sebuah karya yang bertajuk Islam and Secularism yang diterbitkan pada tahun 1978. Dalam buku ini beliau telah mengkaji dan membedah inti peradaban Barat dan pandangan alamnya, menunjukkan kepincangan-kepincangan yang ada padanya, kekeliruan dan bencana yang diakibatkannya, dan menyediakan bagi umat Islam solusi dalam menghadapi krisis keilmuan ini. Keagungan karya al-Attas diakui bukan saja oleh para pengikut dan muridnya tetapi oleh banyak cendekiawan Muslim dan beberapa pemikir Barat, seperti terlihat dalam Cranlana Programme,[2] dalam usaha mereka untuk memahami sumbangan pemikir-pemikir dunia dalam menciptakan masyarakat dan peradaban yang unggul.
Dunia hari ini dipenuhi dengan kekacauan (chaos) dalam hampir semua bidang kehidupan. Kekacauan dapat kita lihat dalam sistem ekonomi dunia hari ini yang telah menjamin kesejahteraan kelompok kecil manusia tetapi memberi kesengsaraan kepada mayoritas penduduk dunia; sistem politik kontemporer juga seringkali gagal melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah dan membela nasib rakyat kecil; universitas-universitas seringkali gagal melahirkan manusia-manusia yang beradab dan maju dalam arti kata yang sebenarnya; sains dan teknologi yang gagal menjadikan dunia lebih layak dihuni oleh manusia. Segala kekacauan yang timbul hari ini menurut al-Attas bermula dari krisis keilmuan yang datang dari Barat. Bagi al-Attas krisis keilmuan adalah tantangan terbesar yang dihadapi oleh umat manusia di zaman ini, karena bangunan ilmu (epistemic construct) ini yang akan menentukan bagaimana sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial dan institusi pendidikan dibangun. Korpus ilmu yang hari ini banyak diwarnai oleh peradaban Barat telah dirusakkan oleh paham-paham sekular dan liberal. Maka terjadilah kerusakan pada ilmu (the corruption of knowledge). Paham sekular-liberal ini memiliki framework pemikiran dan konsepsi yang keliru tentang ilmu, manusia, agama, wahyu, Tuhan dan kata kunci lainnya yang mendefinisikan pandangan alam sesuatu peradaban. Kekeliruan dalam epistemologi inilah yang menyebabkan Barat gagal mengenali hakikat sebenarnya akan realitas kehidupan dan meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sepatutnya.
Sebelum dapat melihat kepincangan pandangan alam Barat, al-Attas terlebih dahulu mendalami filsafat dan pemikiran Barat seperti rasionalisme, empirisisme, positivisme dan pragmatisme. Beliau menyerang sikap Barat yang terlalu mengagungkan ilmu sains sebagai satu-satunya cabang ilmu yang dapat memberikan kepastian dan keyakinan tentang realitas.[3] Oleh karena itu menurut al-Attas Barat telah ”membatasi pandangan alam pada alam yang dialami oleh indera jasmani serta dibentuk oleh akal rasional ”.[4] Dengan menggunakan kaidah rasionalisme dan empirisisme, bagi mereka hakikat hanyalah alam empirik. Dari kajian yang mendalam terhadap worldview Barat ini al-Attas menyimpulkan bahawa ilmu itu tidak neutral. Karena baginya ilmu “bukan hanya suatu sifat yang dimiliki akal manusia, bukan juga hanya hasil perolahan sifat itu tanpa dipengaruhi oleh nilai-nilai yang mempertimbangkan kesahihan pendapatnya”.[5] Yang kita anggap ilmu tidak berdiri sendiri sebagai fakta dan informasi tanpa cara pandang dan worldview tertentu. Seseorang mestilah memiliki kerangka pemikiran dan worldview tertentu sebelum ia dapat mencerna fakta-fakta dan informasi tersebut. Pandangan al-Attas ini tidak diterima oleh beberapa cendekiawan Muslim sendiri, seperti Fazlur Rahman[6] dan Pervez Hoodboy[7], yang terpengaruh dengan worldview Barat dan mengatakan bahawa ilmu itu value-free (bebas nilai). Mereka melihat bahawa ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh Barat tidak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan pandangan alam Islam. Pandangan al-Attas bahawa ilmu itu sarat nilai (value laden) sejajar dengan banyak ilmuwan lain seperti Thomas S. Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution[8] dan Edward Said dalam bukunya Orientalism dan Culture and Imperialism.[9] Tinjauan lebih mendalam akan mendapati bahwa pandangan seperti ini hanya dimiliki oleh beberapa cendekiawan yang mandiri dan berani melihat peradaban Barat secara kritis.
Al-Attas meneliti secara mendalam sumber kekeliruan dalam pemikiran Barat. Beliau menjelaskan bahawa latar belakang filsafat Barat banyak mennggambarkan pandangan alam Barat. Beliau melihat bahwa pandangan alam Barat dimasuki berbagai unsur dari filsafat Yunani dan Romawi, ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen, unsur-unsur kepercayaan orang Latin, German, Celtic dan Nordik telah menimbulkan kekeliruan dan bukan suatu paduan yang baik. Bahkan menurutnya Islam juga telah menyumbang ke arah kematangan pemikiran Barat melalui semangat rasionalisme dan saintifik. Namun campuran berbagai sumber tersebut, walaupun ada di antaranya yang baik, karena tidak diletakkan di tempatnya masing-masing telah menggiring peradaban Barat ke arah dualisme dan tragedi.[10] Al-Attas menolak tesis Harvey Cox bahwa sekularisasi mempunyai akarnya dalam Bible.[11] Beliau menegaskan bahawa akar sekularisasi bukan pada Bible tetapi pada pentafsiran Bible oleh manusia Barat.[12] Maka yang berlaku sebenarnya adalah bukan peng-kristenan masyarakat Barat tetapi pembaratan agama Kristen oleh masyarakat Barat.[13]
Kerusakan pada ilmu bermula dari dualisme. Menurut al-Attas dualisme menjadi karakter worldview dan sistem nilai peradaban Barat. Dualisme berlaku apabila dua perkara dilihat bertentangan, terpisah dan tidak dapat disatukan secara harmoni. Bibit-bibit pemisahan berlaku dalam agama Kristian apabila dipisahkan antara sacred (suci) dan profane (tidak suci). Kemudian dalam sekularisme berlaku pemisahan antara spirit (ruh) dan matter (benda).[14] Malah menurut al-Attas pandangan alam sekular telah menjadikan alam empiris (benda) ini qadim.[15] Seterusnya berlaku pemisahan antara wahyu (revelation) dan akal rasional (reason) dan antara tradisi dengan modernitas. Dari pemisahan ini maka manusia sekular yang telah mengagungkan ilmu sains dan membataskan hakikat pada alam empiris, akan cenderung memilih akal daripada wahyu, benda daripada ruh, dunia daripada akhirat, modernitas daripada tradisi. Maka dengan tepat al-Attas menyimpulkan bahawa peradaban Barat telah berpegang sepenuhnya kepada akal rasional manusia dalam menguraikan segala persoalan.[16] Dan ini menurut beliau adalah satu bentuk deification of human being (pendewaan manusia). Dan tentunya manusia yang diagungkan di sini adalah manusia sekular dan manusia sekular yang tulen semestinya adalah manusia Barat.[17] Proses ini mengukuhkan lagi tesis beliau bahwa telah berlaku westernisasi ilmu, maka untuk itu diperlukan dewesternisasi ilmu.
Dibandingkan epistemologi Islam yang menekankan keyakinan dan kepastian. Epistemologi Barat mengangkat keraguan (doubt, shakk) menjadi kaidah epistemologi yang melaluinya segala ilmu dan kebenaran diperoleh.[18] Oleh karenanya seringkali epistemologi seperti ini berakhir kepada kekeliruan dan skeptisisme. Tidak heranlah jika agnotisme, ateisme, utilitarianisme dan evolusionisme mulai bermunculan setelah rasionalisme Barat diperkenalkan oleh Descartes pada abad ke-17.[19] Akibat dari epistemologi yang keliru ini maka selalu terjadi perombakan dalam epistemologi Barat. Modernisme yang menegaskan objektivisme kini dirombak oleh postmodernisme yang mengagungkan relativisme dan subjektivisme. Bertrand Russell menegaskan pandangan filsafat Barat terhadap ilmu dengan mengatakan bahawa “All knowledge is more or less uncertain and more or less vague”.[20] Malah Russell berkesimpulan bahwa ilmu adalah produk keraguan.[21] Kerana keraguan menjadi asas pencarian ilmu ini maka manusia dalam filsafat Barat tidak akan dapat mencapai kepastian. Kerangka epistemologi yang sekular ini menyebabkan sesuatu yang dianggap ilmu dalam kerangka pemikiran Barat tidak semestinya ilmu dalam arti kata yang sebenarnya tetapi boleh dikatakan sebagai pseudo knowledge (ilmu yang palsu). Ketidakpastian ini berlaku disebabkan oleh peminggiran sumber ilmu yang utama, yaitu wahyu, dan karena itu manusia tidak lagi dapat mengetahui perkara-perkara yang pasti. Dan ketidakpastian menjadi satu realitas dalam ilmu Barat. Sebaliknya sesuatu yang dianggap pasti dan tetap kini menjadi tidak pasti dan berubah-rubah. Seharusnya relativisme dan subjektivisme juga dilihat sebagai sesuatu yang tidak pasti. Namun ternyata pomodernis mengecualikan relativisme dan subjektivisme daripada ketidakpastian yang menjadi ciri filsafat Barat.
Ketidakpastian ini juga yang menggiring pemikiran Barat kepada konsep tragedi. Tragedi adalah konsep ketidaksampaian (unattainment) dalam segala usaha manusia. Tragedi menjadi ciri peradaban Barat dan merupakan realitas yang mesti diterima dalam kehidupan manusia sehingga banyak film dan teater berakhir dengan tragedi dan kesudahan yang dramatik. Manusia dianggap makhluk yang malang. Malang kerana harus menanggung dosa warisan (original sin) dan harus bergantung dengan keupayaan sendiri, akal rasional, untuk mencapai kebenaran. Sedangkan pada hakikatnya ia adalah makhluk yang paling beruntung kerana diberikan karunia yang tidak terhingga oleh Allah SWT. Dan Allah telah memberikannya banyak fakultas termasuk akal yang berfungsi untuk mengenal Allah dan mengenali dirinya. Sikap negatif manusia sekular terhadap kehidupan ini kemudian diimbangi dengan sikap keterlaluan dalam mengapresiasi kehidupan duniawi. Manusia dihakimi hanya hidup sekali maka selama hidup ini manusia harus mencari kepuasan dan kesenangan sebanyak mungkin. Sedangkan dalam pandangan Islam kehidupan dunia ini adalah ujian, jembatan, dan tempat berbekal. Di dunia manusia terikat dengan hutang kewujudan (the debt of existence) dan bukan original sin. Setelah mati manusia akan dihidupkan. Ia akan bertanggungjawab atas apa yang dilakukan di dunia dan menjalani kehidupan abadi sesuai dengan takdirnya.
Masalah yang paling besar dalam ilmu kontemporer adalah sikap Barat terhadap agama yang dicirikan oleh ketidakpercayaan (disenchantment towards religion). Hal ini berkaitan erat dengan sikap sarjana Barat yang menganggap bahawa Tuhan dan agama hanyalah ilusi yang dihasilkan oleh manusia. Tuhan tentunya bukan sama sekali khayalan, mitos, yang berubah seiring perubahan zaman. Bagi al-Attas Tuhan adalah hakikat semata-mata.[22] Di sinilah berlakunya pertentangan antara pandangan alam sekular dengan pandangan alam yang berasaskan kepada tanzil (wahyu). Pertentangan ini bermuara pada perbedaan “agama dan filsafat, dan sains sekular ialah cara dan kaidah kita dalam memahami arti sumber dan kaidah ilmu”.[23] Akibat dari peminggiran agama dalam kehidupuan maka realitas keruhanian dan kebenaran pada zaman modern dicirikan dengan ketidakpastian. Hal ini berlaku seiring dengan kecenderungan masyarakat modern yang kehilangan minat terhadap agama (Kristen) dan bertumpu kepada ilmu-ilmu sains. Sikap terhadap agama inilah yang menyebabkan masyarakat Barat, menurut al-Attas, mendewakan manusia dan memanusiakan Tuhan (man is deified and Deity humanized).[24] Selanjutnya akibat daripada ketidakpercayaan ini maka segala konsepsi terhadap alam realitas menjadi sekular dan materialistik. Maka konsep pembangunan (development), kemajuan (progress) dan perubahan (change) akhirnya tidak terlepas dari kerangka sekular dan materialistik tersebut.
Semua kekeliruan dalam pandangan alam Barat dapat disimpulkan oleh al-Attas kepada lima perkara yang juga mendefinisikan peradaban Barat: pertama, kepercayaan mutlak pada akal (rasional) sebagai panduan dalam kehidupan; kedua, pandangan dualistik terhadap realitas dan kebenaran; ketiga, penerimaan aspek ke-disinikini-an sehingga memancarkan pandangan alam yang sekular; keempat, penerimaan doktrin humanisme; kelima, menjadikan drama dan tragedi sebagai kenyataan dan sangat berpengaruh kepada hakikat manusia dan kejadian:

Reliance upon the powers of human reason alone to guide man through life; adherence to the validity of the dualistic vision of reality and truth; affirmation of the reality of the evanescent-aspect of existence projecting a secular worldview; espousal of the doctrine of humanism; emulation of the allegedly universal reality of drama and tragedy in the spiritual, or transcendental, or inner life of man, making drama and tragedy real and dominant elements in human nature and existence—these elements altogether taken as a whole, are, in my opinion, what constitute the substance, the spirit, the character and personality of Western culture and civilization.[25]


Sekularisasi dan Desekularisasi

Sekularisasi, menurut Harvey Cox, adalah ”pembebasan manusia dari bimbingan agama dan metafisika, menukar tumpuan manusia dari alam akhirat ke alam dunia”.[26] Pembebasan ini katanya untuk kepentingan manusia, karena pemikir-pemikir Barat umumnya melihat bahwa agama adalah penghalang pada kemajuan manusia.
Sejak kemunculan sekularisme, bidang yang pertama mendapat akibatnya adalah bidang politik. Karena tujuan sekularisme juga adalah supaya agama dan gereja tidak campurtangan dalam urusan keduniaan. Oleh itu urusan keduniaan diserahkan sepenuhnya kepada penguasa politik. Sedangkan agama dibatasi pada ruanglingkup ritual dan spiritual.
Kesilapan besar yang dilakukan oleh sekularisme antara lain seperti disebutkan oleh Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah pembebasan alam dari unsur-unsur keagamaan (disenchanment of nature), beliau mengatakan:

By the 'disenchanment of nature...[the Western philosopher-scientist] mean...the freeing of nature from its religious overtones; and this involves the dispelling of animistic spirits and gods and magic from the natural world, separating it from God and distinguishing man from it, so that man may no longer regard nature as a divine entity, which thus allows him to act freely upon nature, to make use of it according to his needs and plans.[27]

Kritik al-Attas terhadap sekularisme cukup jelas. Beliau mengecam pemisahan antara materi dan spiritual yang akhirnya mengangkat manusia sebagai penguasa mutlak di alam ini:

”...effected a final dualism between matter and spirit in a way which left nature open to the scrutiny and service of secular science, and which set the stage for man being left only with the world on his hands.”[28]

Oleh itu, akar permasalahan politik kontemporer sebenarnya terletak pada kerancuan dalam pandangan alam (worldview) sekular. Pandangan alam sekular telah membuang segala yang bersifat transenden dan mengalihkan perhatian manusia kepada segala yang bersifat keduniaan dan kekinian. Dengan demikian ciri utama filsafat-filsafat Barat modern dan postmodern adalah immanentisme. Filsuf-filsuf Barat telah meminggirkan agama, petunjuk Tuhan dan nilai-nilai moral. Apa yang disebut sebagai tradisi ini telah digantikan dengan rasionalisme sekular, kemajuan material (material progress) dan kebebasan individu.
Setelah pemisahan agama dan negara dilakukan maka apa yang berlaku tiadanya panduan dan bimbingan terhadap peranan manusia dalam kehidupan. Kebenaran sesuatu ditentukan sepenuhnya oleh akal fikiran manusia yang subjektif. Empirisisme, positivisme dan saintisme dicipta untuk menjadi panduan dalam menentukan sepenuhnya benar salah, baik buruk sesuatu perkara. Akan tetapi keangkuhan modernisme Barat ini lalu digugat oleh postmodernisme yang lahir dari rahim modernisme sendiri. Maka apa yang terjadi sebenarnya setelah melepaskan diri dari agama, manusia sekular berada dalam putaran ganas relativisme dan nihilisme hasil ciptaan manusia sekular sendiri.
Mengenai kesesatan sekularisme, al-Attas mengatakan bahawa dengan membuang unsur-unsur transenden, sekularisme telah mendewakan manusia:

The reduction of man of his transcendent nature as spirit emphasizing his humanity and physical being, his secular knowledge and power and freedom, which led to his deification, and so to his reliance upon his own rational efforts of inquiry into his origins and final destiny, and upon his own knowledge thus acquired which he now sets up as the criterion for judging the truth or falsehood of his own assertions.”[29]

Dalam mengritik sekularisme, Prof. Wan Mohd Nor menekankan bahwa bukan kemajuan material dan pembangunan yang ditentang tetapi kecenderungan sekularisme menjadikan realitas dan kebenaran ditentukan sepenuhnya oleh akal rasional dan empiris dengan demikian telah menolak bimbingan agama yang benar:

”what we critical of is the removal of spiritual meanings from human consciousness and activities, and from nature; the reduction of all truth and reality to what is only empirically and rationally verifiable and unaided by valid religious guidance.”

Dalam hal ini Yusuf al-Qaradawi menegaskan: “pengikisan agama dari politik berarti mengikisnya nilai-nilai murni, penolakan terhadap kejahatan, membuang unsur-unsur kebaikan dan ketakwaan, dan membiarkan masyarakat dikawal oleh unsur-unsur kejahatan.”[30]

Pembebasan alam kejadian (nature) dari unsur-unsur keagamaan oleh sekularisme diikuti dengan desakralisasi politik (desacralization of politics) dengan memisahkan agama dari politik. Sekularisme melakukan desakralisasi politik dengan memutuskan kekuasaan dunia dari kekuasaan transenden. Hal ini dilakukan atas alasan bahwa pemerintahan agama akan menghalangi perubahan dan kemajuan. Yang menjadi pencetus kepada pemisahan ini adalah kesalahan gereja dalam menghakimi bahwa mereka berkata atas nama Tuhan. Sehingga apa saja yang diutarakan oleh gereja adalah dari Tuhan padahal ini adalah dakwaan palsu. Justru itu yang seharusnya diruntuhkan adalah dakwaan berkomunikasi dengan Tuhan dan bukan peranan agama secara keseluruhannya.
Pemikiran sekular telah memisahkan antara wahyu dengan akal, agama dengan sains. Sekularisme berasumsi bahawa dua perkara yang dilihat bertentangan ini tidak dapat bersatu, keduanya dilihat secara dikotomis. Dengan dualisme ini sekularisme telah menempatkan manusia dan Tuhan sebagai entitas yang berlawanan dan terpisah. Inilah yang dimaksudkan dengan desakralisasi politik. Maka sejak zaman Renaissance telah terjadi pemisahan antara negara dan agama. Yang menjadi masalah pada hari ini adalah tanpa bimbingan Tuhan, manusia mengatur alam kehidupan mengikut hawa nafsu dan kepentingan sesaat (pragmatisme). Maka dalam berpolitik kepentingan peribadi dan kepentingan masing-masing golongan akan menjadi keutamaan berbanding kepentingan bersama atau kepentingan rakyat. Baik dan buruk tidak lagi bersifat universal tetapi relatif dan subjektif bergantung sepenuhnya kepada keinginan manusia sekular. Maka manusia sekular, karena hanya mempertimbangkan hal-hal keduniaan yang bersifat sementara dan dekat di mata kasar, sebenarnya bersandarkan kepada pemikiran yang dangkal, yang tidak mencerminkan kebijaksanaan tetapi ’kebijaksinian’.
Semua premis yang dikemukakan di atas membawa al-Attas kepada kesimpulan bahawa dewesternisasi dan desekularisasi terhadap ilmu-ilmu kontemporer adalah satu kemestian. Atas dasar inilah al-Attas membangun gagasan Islamisasi ilmu yang seringkali dikaitkan dengan ide dewesternisasi dan desekularisasi. Al-Attas telah membuktikan bahawa dualisme yang menjadi ciri khas pandangan alam Barat menyebabkan kekeliruan dalam memahami realitas dan kebenaran. Ia berawal dari kegagalan memahami kedua perkara tersebut dengan tepat dan keliru dalam meletakkan kedua perkara tersebut pada tempat yang sewajarnya. Pendewaan terhadap akal rasional (rasionalisme dan empirisisme) terjadi seiring dengan peminggiran yang sistematik terhadap agama dan metafisika. Al-Attas juga membongkar kelemahan konsepsi Barat tentang banyak perkara yang dicirikan dengan kepincangan dan ketidaksempurnaan. Konsepsi Barat tentang manusia, ilmu, pembangunan, kebahagiaan, agama, Tuhan, dan lain-lain adalah mengelirukan dan merusak. Sehingga siapa saja yang menerimanya akan ikut mengalami bencana dan malapetaka yang besar, yang akan sedikit demi sedikit meruntuhkan peradaban manusia.

NB:
Diadaptasi dari bahasa Malaysia ke dalam bahasa Indonesia oleh Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN). Kekeliruan penerjemahan sepenuhnya tanggung-jawab penerjemah (M. Ishaq)

Rujukan:
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism, diterbitkan oleh ABIM pertama kali pada 1978. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.
________. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1995.
________. “The Worldview of Islam: An Outline” dalam Islam and The Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Contexts, Sharifah Shifa al-Attas (ed.). Kuala Lumpur: ISTAC, 1996.
________. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education, Kuala Lumpur: ABIM, 1980.
________. Risalah untuk Kaum Muslimin, Kuala Lumpur: ISTAC, 2001.
________. Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam. Pulau Pinang: Penerbit Universiti Sains Malaysia, 2007.
Cox, Harvey. The Secular City. New York: Collier Book, 1965.
Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolution. Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1996.
Lyotard, Jean-Francois. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984.
Al-Qaradawi, Yusuf. al-Din wa al-Siyasah. Kaherah: Dar al-Shuruq, 2007.
Rahman, Fazlur. “Islamization of Knowledge: A Response” dalam The American Journal of Islamic Social Science (AJISS), vol.5, No. 1, 1988. Pp.3-11.
Russell, Russell. The Problems of Philosophy. Oxford: Oxford University Press, 1959.
Said, Edward. Orientalism. New York: Vintage Books, 1979.
Smart, Barry. Postmodernity: Key Ideas. London: Routledge, 1993.
Wan Mohd Nor Wan Daud, “An Islamic Philosophy of Education: From Conceptualization to Realization”. Kertas kerja yang dibentangkan pada persidangan: Islamic Education for Transformation, dianjurkan oleh Islamic Unity Convention di Capetown, Afrika Selatan pada 27 June 1997.
________. The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization. Kuala Lumpur: ISTAC, 1998.
________. Falsafah dan Amalan Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas: Satu Huraian Konsep Asli Islamisasi, Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2005.
________. Masyarakat Islam Hadhari: Suatu Tinjauan Epistemologi dan Kependidikan ke Arah Penyatuan Pemikiran Bangsa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006.
9

________________________________________
[1] Dr. Khalif Muammar merupakan felo Penyelidik di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), UKM. Beliau boleh dihubungi melalui emel: ketamadunan@yahoo.com atau www.khairaummah.com.
[2] Lihat Jennifer M. Webb (ed.), Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (Melbourne: the Cranlana Programme, 2002). Buku ini menghimpunkan pemikiran dan sumbangan 45 ilmuwan dan pemikir besar sepanjang sejarah manusia bermula daripada Plato sehingga John Rawls. Maklumat ini diberikan oleh Prof. Wan Mohd Nor, penulis ingin merakamkan penghargaan kepada beliau atas banyak tunjuk ajar yang diberikan.
[3] S.M.N. al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau Pinang: Penerbit USM, 2006), 9. Setelah ini diringkas sebagai Peri Ilmu dan Pandangan Alam.
[4] Ibid., 16.
[5] Ibid., 15. Lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 306.
[6] Fazlur Rahman, “Islamization of Knowledge: A Response” dalam The American Journal of Islamic Social Science (AJISS), vol.5, No. 1, 1988, pp. 3-11.
[7] Pervez Hoodboy, Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality (London: Zed Book, 1992). Daripada tulisan terkininya kita dapati beliau menerima sepenuhnya worldview Barat, seperti katanya: “Just as important, the practice of religion must be a matter of choice for the individual, not enforced by the state. This leaves secular humanism, based on common sense and the principles of logic and reason, as our only reasonable choice for governance and progress”. Lihat “Science and the Islamic world—The quest for rapprochement”, di http://ptonline.aip.org/journals/doc/PHTOAD-ft/vol_60/iss_8/49_1.shtml
[8] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1996), 4-5.
[9] Edward Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979), 204.
[10] Al-Attas, Islam and Secularism, 134.
[11] Harvey Cox, The Secular City (New York: Collier Book, 1965), 15.
[12] “Secularization has its roots not in biblical faith, but in the interpretation of biblical faith by Western man”. Lihat Al-Attas, Islam and Secularism, 20.
[13] Ibid., 20, 22.
[14] Ibid., 33.
[15] Al-Attas, Peri Ilmu dan Pandangan Alam, 3. Qadim bermakna tidak bermula dan tidak berakhir.
[16] Al-Attas, Islam and Secularism, 137.
[17] Ibid., 25.
[18] Al-Attas, Peri Ilmu dan Pandangan Alam,5.
[19] Al-Attas, Islam and Secularism, 22.
[20] Encyclopedia Brittanica, The Theory of Knowledge.
[21] Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1959), 156.
[22] Al-Attas, Peri Ilmu dan Pandangan Alam, 2
[23] Ibid., 2.
[24] Al-Attas, Islam and Secularism, 136.
[25] Ibid.,137.
[26] Harvey Cox, The Secular City, 15.
[27] Al-Attas, Islam and Secularism, 18.
[28] Ibid., 33.
[29] Ibid., 38.
[30] Yusuf al-Qaradawi, al-Din wa al-Siyasah (Kaherah: Dar al-Shuruq, 2007), 82.

2 komentar:

  1. salam...

    ada yg tau dimana bisa dapatkan buku Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam???
    sudah adakah versi indonesiax??

    mohon bantuanx..

    trims...

    BalasHapus
  2. apakah ada khazanah islam tentang ilmu pertanian? jika ada mohon bantuannya dalam memberikan informasinya
    terima kasih

    BalasHapus